Jakarta, Sehaty.media – Kasus dugaan perselingkuhan yang diduga di lakukan seorang anggota Polri Bripka RES yang berdinas di Polres Tebing Tinggi dengan seorang wanita inisial MF yang terjadi di salah satu Hotel di Dusun II Desa Paya Pasir,Kecamatan Tebing Tinggi,Serdang Berdagai,Sumatera Utara yang terjadi pada tanggal 07 September 2022 yang saat ini sedang proses dilakukan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH),berbuntut panjang,pasalnya Tim Kuasa Hukum dari Kantor Hukum Epza sebagai kuasa hukum Bripka RES mendatangi Markas Polda Sumatera Utara,Jalan Sisingamangaraja KM 10,5 Medan,untuk melayangkan surat permohonan untuk menggelar Ulang Pekaranya Kliennya,kepada Kapolda dan Kabid Propam Polda Sumut karena kasus dugaan perselingkuhan antara keduanya ini diduga penuh dengan kejanggalan dan ada rekayasa.Kamis,(19/01/2023).
Seperti diketahui di berita berita media online di Sumatera Utara,Putusan Sidang Komisi Etik Etika Profesi Polri yang digelar oleh Polres Tebing Tinggi dengan Nomor: Put/12/XI/2022/KKEP, tertanggal 26 November 2022,yang memutuskan bahawa Bripka RES :
a. Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar: Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 8 huruf c nomor 2 dan 3, Pasal 13 huruf f dari Perkap Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri jo Pasal 13 ayat (1) dari PPRI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian anggota Polri;
b. Menjatuhkan sanksi:
1) Sanksi yang bersifat etika: perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela.
2) Sanksi yang bersifat administratif:
-penempatan pada Teempat Khusus selama 14 (empat belas) hari kerjal; dan
-direkomenasikan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai anggota Polri.
Atas putusan Komisi Etik Etika Profesi Polri tersebut,Tim Kuasa Hukum dari Bripka RES yang terdiri dari Eka Putra Zakran, SH,MH,Sabda Abdillah Lubis,SH, MH,Bismar Siregar, SH,M.KN dan TUSENO, SH menyatakan keberatan atas keputusan Komisi Etik Etika Profesi tersebut dengan alasan sebagai berikut :
1.Proses penangkapan dilakukan secara tidak prosedural sebagaimana sepatutnya ketentuan yang berlaku;
2.Proses pemeriksaan telah penuh dengan intimidasi dan terkesan disertai dengan jebakan;
3.Putusan Sidang Etik Profesi Polri tidak utuh menggambarkan peristiwa dan bersifat parsial, sebab secara substansi pembelaan tidak dipertimbangkan dan memuat sesuatu pertimbangan yang tidak pernah terbuktikan secara formal dalam persidangan etik;
4.Proses persidangan etik terkesan telah digiring dan diniatkan semata-mata memberi sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai anggota Polri, sehingga proses sidang tersebut tak lebih dari sekadar legitimasi belaka. Bahkan pada persidangan etik tersebut patut diduga telah terdapat penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak terkait.
Eka Putra Zakran,SH,MH Ketua Tim Kuasa Hukum menjelaskan keawak Media,proses rekomendasi PTDH berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP-B/893/X/2022/SPKT/Polres Tebing Tinggi tertanggal 27 Oktober 2022 terhadap Bripka RES yang perkaranya ini kemudian telah ditingkatkan ke penyidikan.
Selanjutnya, bahwa berkas pemeriksaan Pendahuluan Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri Nomor: BP3KEPP/07/X/2022/Sipropam tertanggal 10 Oktober 2022 telah
berimplikasi negatif terhadap Bripka RES karena telah diputus rekomendasi PTDH.
“Mengenai penangkapan yang dilakukan terhadap klien kami, berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, kami menilai Polri dalam hal ini bekerja tidak profesional, karena banyak kekeliruan yang nyata dalam prosesnya, mulai dari panangkapan hingga ke penyelidikan, hal yang tampak nyata diantaranya penangkapan yang dilakukan tanpa didasari surat perintah penangkapan, sehingga hal ini bertentangan dengan ketentuan pasal 18 ayat (1) KUHAP,” ungkapnya.
Kemudian, Eka juga menyebut kasus perzinahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 KUHP merupakan delik aduan absolut, yang berarti hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari suami atau istri yang dirugikan atas perbuatan perzinahan tersebut.
“Akan tetapi dalam hal ini, penyidik meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan berdasarkan rekomendasi PTDH itu,” tambahnya.
Selain itu, Eka juga mengaku pada saat dilakukan penangkapan terhadap Bripka RES dan MF. Terdapat kurangnya bukti pemulaan yang cukup, terutama bukti surat yang membuktikan jika MF adalah istri sah dari CH.
“Sehingga terkesan prosesnya dikondisikan/tergesa-gesa. Selain itu, kami juga menilai adanya dugaan tindak pidana memberikan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam pasal 242 ayat (1) dan/atau ayat (2) KUHPidana yang dilakukan oleh saksi dalam perkara ini,” tuturnya.
Eka juga menambahkan, putusan sidang etik tidak memuat kejadian atau kronologi yang sebenarnya serta tidak didukung bukti yang faktual dan kontruksi peristiwanya mengandung substansi yang bersifat tidak relevan (imajinatif).
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, dengan ini pihaknya memohon kepada yang terhormat kepada Kabag Wasidik agar berkenan memerintahkan penyidik untuk melakukan gelar perkara ulang terhadap perkara kliennya demi tegaknya hukum dan keadilan.
“Karena kami melihat prosedur penangkapan, penyelidikan yang dilakukan adalah prematur, terdapat banyak kekeliruan,” terangnya.
Ditempat yang sama salah satu anggota Tim Kuasa Hukum Tuseno SH,juga memberikan stetmennya.
“Iya, kami dari kuasa hukum sudah mengirim surat permohonan gelar perkara khusus kepada Kabag Wasidik, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Utara. Karena kasus ini terkesan penuh kejanggalan,” ujarnya.
“Atas putusan tersebut klien kami menyatakan keberatan dengan beberapa alasan. Karena proses penangkapan dilakukan secara tidak prosedural sebagaimana sepatutnya ketentuan yang berlaku dan proses pemeriksaan telah penuh dengan intimidasi dan terkesan disertai dengan jebakan,” tegas Tuseno,SH.
Tim hukum juga berpendapat, putusan Komisi Sidang Etik Etika Profesi Polri atau Polres Tebing Tinggi tidak utuh menggambarkan peristiwa dan bersifat parsial. Sebab secara substansi pembelaan tidak dipertimbangkan dan memuat sesuatu pertimbangan yang tidak pernah terbuktikan secara formal dalam persidangan etik.
“Proses persidangan etik terkesan telah digiring dan diniatkan semata-mata hanya memberi sanksi PTDH sebagai anggota Polri, sehingga proses sidang tersebut tak lebih dari sekadar legitimasi belaka. Bahkan pada persidangan etik tersebut patut diduga telah terdapat penyalah gunaan wewenang oleh pihak-pihak terkait,” jelasnya.
Tuseno mengatakan, aksi penangkapan terhadap Bripka RES dan MF di hotel diduga dilakukan tanpa adanya surat perintah tugas penangkapan. Kemudian dibawa ke Polres Tebing Tinggi dan selanjutnya diduga diamankan di rumah dinas Kapolres Tebing Tinggi, AKBP Kunto Wibisono.
“Klien kami dipaksa untuk mengakui perbuatan yang pada faktanya tidak pernah dilakukan. Jadi, kami minta kepada Polda Sumatera Utara untuk menarik kasus ini dari Polres Tebing Tinggi. Dugaan kami bahwa berjalannya kasus ini penuh dengan rekayasa,”pungkasnya.
Seperti dilansir dari salah satu media online di Sumatera Utara Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Kombes Pol Hadi Wahyudi ketika dikonfirmasi mengakui jika surat permintaan gelar perkara ulang itu akan diteliti oleh pihak penyidik.
“Silahkan jika meminta atau ingin dilakukan gelar perkara ulang terkait perkara yang sedang berproses. Pastinya akan diteliti lebih dahulu. Semua laporan atau surat pengaduan masyarakat, pasti akan diteliti dahulu untuk proses lebih lanjutnya,” terangnya.
Kasus dugaan perzinahan yang diduga dilakukan oleh Bripka RES telah direkomendasikan PTDH oleh pimpinan ditempatnya berdinas. Akan tetapi, mereka mengajukan banding dan saat ini sedang berproses di Bidang Propam Polda Sumatera Utara.