Jakarta, SEHATYNEWS – Setelah lebih 30 tahun pemerintah Orde Baru melalui Inpres no. 14 tahun 1967 melarang segala bentuk perayaan Imlek dan hal berbau etnis Tionghoa digelar secara terbuka, pada tahun 2000 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian mencabut Inpres tersebut melalui Keppres no. 6 tahun 2000.
Menindaklanjuti keputusan itu, Gus Dur mengeluarkan Keputusan no. 13 tahun 2001 yang menetapkan perayaan Imlek menjadi hari libur fakultatif, yang kemudian ditetapkan sebagai hari libur nasional di masa pemerintahan Megawati melalui Keppres no. 19 tahun 2002.

Sejak itu, perayaan Imlek dan Cap Go Meh mewarnai di setiap daerah secara meriah, terbuka dan menarik perhatian warga.
Atas keputusannya, pada 10 Maret 2004 bertepatan perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie di Semarang, masyarakat Tionghoa memberi julukan kepada Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa.
Imlek berasal dari tradisi menyambut musim semi di Tiongkok, jauh sebelum hadirnya agama tertentu. Tradisi ini muncul karena masyarakat Tiongkok mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Sehingga mereka menganggap bahwa awal musim semi merupakan awal kehidupan baru dan menjadi perhitungan penanggalan tahun baru.
Tradisi Imlek dengan pernak pernik dan warna merah menjadi ciri khas yang kemudian berakulturasi dengan budaya lokal di Indonesia. Termasuk di dalamnya budaya kuliner seperti kue keranjang dan lain-lain.
Namun tradisi Imlek dan budaya Tionghoa di Indonesia mengalami pasang surut yang sangat dinamis.
Di masa pemerintahan kolonial, pernah terjadi tragedi pembantaian etnis Tionghoa sekitar tahun 1740-an. Etnis Tionghoa melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Kolonial yang mengakibatkan operasi sapu bersih etnis Tionghoa pada masa itu.
Di jaman setelah kemerdekaan, pecahnya Kudeta 30 September 1965 juga berdampak pengekangan budaya dan tradisi Tionghoa di Indonesia. Berkembangnya sentimen negatif terhadap mereka berlangsung lebih dari 30 tahun.
Sejak Reformasi bergulir hingga kini, tradisi Tionghoa menjadi bagian tak terpisahkan dan menambah khazanah budaya Nusamtara, meski secara ekonomi politik sentimen negatif terhadap mereka belum juga pudar, bahkan cemderung meningkat akibat eskalasi politik uramanya menjelang pemilihan umum.
Akan kah hal ini terus terjadi? Atau terjadi perubahan mendasar di masa mendatang? Tak ada yang berani menjawab.
Setidaknya mari kita saling menghargai atas semua perbedaan.
Selamat tahun baru Imlek 2025. Gong xi fa cai. Semoga kemakmuran dan kedamaian menyelimuti bangsa Indonesia.